Search

Cerita Ekonom AS Dapat Nobel Prize Gegara Teliti SD Inpres RI

Cerita Ekonom AS Dapat Nobel Prize Gegara Teliti SD Inpres RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Tiga ekonom Amerika mendapatkan Penghargaan Ekonomi Nobel (Nobel Economics Prize) ke 51 dari Royal Swedish Academy of Sciences pada Senin (14/10/19). Ketiga ekonom tersebut yakni pasangan suami istri Abhijit Banerjee dan Esther Duflo serta peneliti lain Michael Kremer.

Penghargaan diberikan kepada ketiga ekonom tersebut karena berhasil melahirkan pendekatan baru dalam hal pendidikan dan kesehatan untuk memerangi kemiskinan.

Mereka melakukan penelitian setidaknya selama dua dekade. Dari ketiga pemenang tersebut, Duflo ternyata pernah meneliti Sekolah Dasar (SD) Inpres di Indonesia.

Dalam salah satu penelitiannya yang berjudul "Dampak Jangka Menengah Ekspansi Pendidikan : Studi Kasus Program Pembangunan Sekolah di Indonesia", Duflo menyoroti adanya kebijakan SD Inpres terhadap angka partisipasi pendidikan, gaji, serta partisipasi tenaga kerja dalam kurun waktu 13 tahun (1986-1999).

Dalam abstraksinya Duflo menjelaskan penelitian ini berbasis pada realita yang terjadi di Indonesia pada 1973 dan 1978. Kala itu Indonesia membangun lebih dari 61.000 SD. Dia mengevaluasi efek dari program ini pada pendidikan dan upah. Dengan menggabungkan perbedaan antar daerah dalam jumlah sekolah yang dibangun dengan perbedaan antar kelompok yang disebabkan oleh waktu program.

Dalam risetnya, dia menunjukkan bahwa pembangunan SD Inpres menyebabkan peningkatan pendidikan dan pendapatan. Anak-anak usia 2 hingga 6 tahun di 1974 menerima 0,12 hingga 0,19 tahun lebih banyak pendidikan, untuk setiap sekolah yang dibangun per 1.000 anak di wilayah kelahiran mereka.

Dengan menggunakan variasi sekolah yang dihasilkan oleh SD Inpres ini sebagai variabel instrumental, ke dampak pendidikan pada upah. Duflo mendapatkan kesimpulan bahwa kebijakan ini sukses 'meningkatkan' ekonomi, bahkan pengembalian ekonomi sekitar 6,8-10,6%.

Adanya program SD Inpres dinilai juga memiliki dampak positif terhadap angka partisipasi di sektor tenaga kerja formal. Namun peningkatan partisipasi pendidikan berbanding terbalik dengan besaran upah yang diterima.

Hal ini disebabkan karena laju partisipasi lebih tinggi ketimbang laju kenaikan upah. Selain itu, peningkatan modal sumber daya manusia (Human Capital) yang tidak dibarengi dengan peningkatan modal fisik (physical capital). Kalau produktivitas tidak naik, kemungkinan besar upah juga tidak naik. Itulah fenomena yang diulas dalam penelitian Duflo.

SD Inpres merupakan proyek peningkatan kualitas pendidikan dasar di rezim Orde Baru. SD Inpres terbentuk dengan keluarnya instruksi presiden Nomor 10 tahun 1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Gedung SD atas gagasan ekonom Widjodjo Nitisastro.

SD Inpres ini sering disebut "sekolah kecil" karena disediakan untuk anak-anak masyarakat miskin, di daerah terpencil. Kalaupun di wilayah perkotaan, SD Inpres berada di kawasan dengan penghasilan rendah, sementara di wilayah lebih maju pemerintah membuat SD negeri.

Peraih Nobel Meneliti BPJS Kesehatan

Selain Duflo, sang suami Benerjee juga kerap meneliti soal Indonesia, hanya saja bukan tentang SD Inpres melainkan soal BPJS Kesehatan. Penelitian itu dilakukannya dengan sejumlah peneliti lain termasuk peneliti lokal dengan judul The Challenges of Universal Health Insurance in Developing Countries: Evidence from a Large-Scale Randomized Experiment in Indonesia (Tantangan Asuransi Kesehatan Universal di Negara Berkembang: Bukti dari Percobaan Acak Skala Besar di Indonesia).

Dari abstrak, penelitian ini melihat bagaimana asuransi kesehatan bisa dijangkau masyarakat. Penelitian ini menyasar 6.000 rumah tangga di Indonesia yang menjadi sasaran program asuransi kesehatan pemerintah yang diamanatkan secara nasional.

Penelitian yang serupa, juga menargetkan Indonesia, juga pernah dilakukannya di 2010. Soal tantangan negara ini mengidentifikasi orang miskin untuk asuransi sosial karena keterbatasan informasi soal pendapatan masyarakat.

Studi dilakukan dengan percobaan lapangan di 640 desa di Indonesia. Di mana ternyata penilaian diri penduduk desa atas status sosial lebih berpengaruh dalam menentukan apakah mereka tergolong penerima bantuan atau tidak, dan bukan pendapatan perkapita. (hoi/hoi)

Halaman Selanjutnya >>>>




Bagikan Berita Ini

0 Response to "Cerita Ekonom AS Dapat Nobel Prize Gegara Teliti SD Inpres RI"

Post a Comment

Powered by Blogger.