Warren Buffett Panik, Investor Saham RI: Sell, Hold atau Buy?
Jakarta, CNBC Indonesia - Koreksi pasar saham Amerika Serikat (AS) telah membuat panik investor dan membuat role model investor pasar modal global yaitu Warren Buffett panic selling dan menjual 60% portofolio pasar modalnya hingga menjadi dana kas.Penjualan tersebut ditengarai disebabkan ancaman resesi yang sudah di depan mata, baik ancaman resesi ekonomi di Negeri Paman Sam maupun secara luas ekonomi global.
Ketika 'Opa Buffett' yang berjuluk Oracle of Omaha atau si peramal dari Omaha itu mulai lepas tangan dari pasar modal tentu tidak sedikit investor dunia yang seakan kehilangan pegangan, dari mulai ritel hingga fund manager, tetapi tidak demikian dengan investor di dalam negeri yang beda gaya.
![]() |
Tb. Farash Farich, Head of Investment PT Avrist Asset Management, menilai investor individu domestik sudah ada yang mulai lihai dan terlihat mulai sering masuk ke pasar saham saat market terkoreksi (bearish) dan bertujuan untuk berinvestasi dengan jangka waktu jangka panjang.
"[Dinamika ini terjadi] diperkirakan karena masing-masing individu tidak memiliki batasan review kinerja jangka pendek [lain halnya seperti yang diterapkan investor institusi] sehingga investor individu bisa fokus untuk investasi jangka panjang," ujarnya kepada CNBC Indonesia Selasa kemarin (15/10/19).
Dia menilai lebih dewasanya (mature) aktivitas transaksi dan investasi investor individu di pasar saham tersebut juga dibantu ramainya sosialisasi dari pelaku pasar, baik dari penasihat investasi, pengelola keuangan (financial planner), agen penjual reksa dana, dan tentunya manajer investasi.
Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Kebiasaan investor individu ternyata berbeda juga dengan investor institusi.
Farash menilai ada tiga 'gaya' yang biasa diterapkan investor institusi di saat menghadapi pasar yang bearish, terutama dengan adanya ancaman resesi seperti sekarang.
Pertama, bagi yang melakukan alokasi aset secara aktif karena ragu untuk melakukan jual portofolio atau justru tambah portofolio (average down), maka biasanya akan menunggu hingga pasar berbalik menguat (rebound) dan kemudian baru menjual portofolio sahamnya untuk mencairkan investasi mereka.
Kedua, bagi yang belum banyak menempatkan portofolio di pasar saham, atau bahkan belum punya sama sekali, juga akan menunggu hingga pasar rebound baru nyemplung ke pasar saham.
Ketiga, sudah ada sebagian investor institusi yang murni menerapkan value investing dan value seeking yang justru membeli instrumen saham ketika koreksi sudah terjadi cukup dalam.
Value investing adalah salah satu strategi investasi berbasis analisis fundamental dalam pasar modal. Value investing dilakukan dengan cara menganalisa rasio pada fundamental perusahaan, harga wajar (intrinsic value) saham, dan margin of safety (MoS) untuk mencari saham yang masuk kategori 'murah' (undervalued).
Mari Berkaca Dulu..
Dalam kesempatan terpisah, Ivan Jaya, Head of Wealth Management & Client Growth PT Bank Commonwealth, menilai saat menilai akan terjadi resesi justru investor sebaiknya tidak langsung masuk ke instrumen tertentu tetapi justru harus berkaca kembali pada profil investasinya.
Setelah membaca kembali profil investasinya karena profil awal dapat bergeser, baru investor mulai disarankan untuk menerapkan strategi untuk masing-masing kelompok profilnya. Untuk saat ini, Ivan menilai investor individu secara umum terbagi ke dalam tiga kelompok yaitu konservatif, berimbang, dan agresif.
Untuk yang konservatif atau yang sangat hati-hati dan menghindari risiko berlebihan, dia menyarankan komposisi portofolio berbasis pasar saham disarankan sebesar 20%, berbasis pendapatan tetap 30%, dan instrumen pasar uang (tabungan dan deposito) 50%.
Instrumen pendapatan tetap yang dimaksud dapat berupa surat utang berupa obligasi, sukuk, baik yang diterbitkan pemerintah maupun korporasi, sedangkan untuk masing-masing kelas aset dapat dialokasikan dengan membeli efek langsung maupun melalui instrumen reksa dana.
Bagi investor yang berimbang dalam mengejar return dan menghindari risiko, saran komposisi di pasar saham dan efek utang masing-masing 35% dan baru sisanya 30% berupa instrumen pasar uang.
Untuk karakteristik investor yang agresif untuk mengejar return serta memiliki durasi jangka panjang, instrumen saham disarankan berporsi 70%, pendapatan tetap 20%, dan pasar uang 10%.
Namun, Ivan juga mengingatkan bahwa belum pernah ada koreksi pasar yang terjadi lebih dari 2 tahun, sehingga investor disarankan mulai mencicil ketika pasar berada dalam fase pelemahan seperti sekarang. Koreksi terpanjang sejak 2005 terjadi pada 2008-2009, ketika krisis subprime mortgage terjadi di AS. Pada periode itu, koreksi pasar juga tidak sampai 2 tahun.
"Setelah koreksi selesai, maka trennya akan terjadi penguatan yang akan melewati posisi rekor tertinggi yang pernah terjadi. IHSG lalu menciptakan rekor tertinggi yang baru hingga tidak pernah menyentuh level rendahnya lagi."
Dia juga menyarankan pasar saham bulan ini yaitu Oktober menjadi secara historis justru menawarkan return investasi yang 'cihuy', dengan menerapkan strategi investasi saham yang dibeli dari yang belum punya, atau bobot sahamnya diperbesar pada periode Oktober-Maret.
Menurut dia, secara historis investor yang memanfaatkan siklus "Buy in October and Sell in March" sejak rentang 10 tahun terakhir yaitu pada medio 2009-2019 dapat menghasilkan rerata return di pasar saham 9,92% setiap tahunnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(tas/tas)
Halaman Selanjutnya >>>>
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Warren Buffett Panik, Investor Saham RI: Sell, Hold atau Buy?"
Post a Comment